Senin, 14 April 2014

Anak dan Mantu Atut lakukan politik uang pemilu 2014 di Jiwantaka

caleg golkar no 1 dapil serang untuk dprd propinsi banten, ade rossi mantu atut
caleg dpd no 7, andiara anak atut
mungkinkah mereka kena sangsi dari bawaslu ?

Merdeka.com - Usai pemilu legislatif, mulai bermunculan cerita-cerita lucu soal politik uang (money politic) yang dilakukan oleh para caleg. Karena mendapat suara sedikit, para caleg kemudian meminta kembali uangnya.

Seperti terjadi di Banten. Kisah ini diceritakan oleh Suyanto (50) warga Lontar Jiwantaka, Kelurahan Lontar Baru, Kecamatan Serang, Kota Serang, Banten. Ia mengaku uangnya diminta kembali oleh seorang timses caleg gara-gara caleg tersebut suara kecil.

Suyanto mendapat uang Rp 50 ribu dari timses itu pada malam hari menjelang pencoblosan. Ia didatangi timses caleg dan diminta untuk memilih empat caleg, tiga dari Golkar yakni caleg untuk DPR RI nomor urut 5, DPD nomor urut 7, DPRD Banten nomor urut 1, dan satu dari Partai Gerindra caleg Kota Serang nomor urut 7.

"Jadi pada malam itu saya diminta untuk mencoblos empat caleg, nomor urut 7, 1, 5, dan 7. Dan katanya nanti dikasih uang. Waktu itu saya nolak, dan saya bilang nanti saja gampang. Namun tanpa sepengetahuan dirinya, usai pencoblosan uang dalam amplop tersebut dititipkan ke mantu saya sebanyak empat amplop. Satu buat saya, dua anak saya, dan mantu saya," ujar Suryanto, Jumat (11/4).

Namun, usai hari pencoblosan pada Kamis (10/4) kemarin, timses yang berinisial AM meminta uang kembali dengan alasan menuduh dirinya tidak mencoblos empat caleg yang diminta. "Dan itu pun tidak langsung ke saya, tapi ke anak saya, cucu saya. Katanya, bilangin ke bapak kamu untuk mengembalikan uang dari Pak Ade. Ini kan sama saja menjelekkan nama baik saya. Kalau niatnya baik, silakan datang ke rumah saya dan temui saya langsung. Karena diawal ketika minta dukungan datangnya baik-baik," katanya.

Suryanto juga mengaku, uang yang diberikannya sebanyak Rp 50 ribu per amplop tersebut belum digunakan. "Saya malu, seakan-akan saya punya utang sama dia, dan keluarga saya juga ikut malu. Andai kata surat suara itu bisa diambil, saya perlihatkan, kalau saya milih siapa," katanya.

Sementara itu AM sendiri membenarkan dirinya telah memberikan uang kepada warga namun ia membantah menagih kembali uang yang sudah dibagikan. Dan ia menegaskan bahwa dirinya bukan kader salah satu partai.

"Saya tidak menagih uang tersebut untuk dikembalikan. Saya ini kan bukan kader partai, kebetulan istri saya yang kader Partai Golkar , dan saya hanya membantu istri saya," ungkapnya.

Sabtu, 05 April 2014

Putra-Putri Atut Dilaporkan ke Bawaslu Banten

Serang - Diduga lakukan money politics, putra dan putri Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Banten. Andika Hazrumi selaku Caleg DPR RI nomor urut 1 dari Partai Golkar dengan daerah pemilihan (Dapil) Banten 1 Pandeglang-Lebak, dan Andiara Aprilia Hikmat selaku Caleg DPD RI nomor urut 7 yang dilaporkan ke Bawaslu Banten.

Keduanya diduga melakukan praktik politik uang (money politics) dengan cara membagikan paket mie instan ke pemilih di Pandeglang.

Tapi bukan hanya putra dan putri Atut, juru bicara keluarga Atut pun diduga melakukan praktik politik uang yakni Fitro Nur Iksan selaku Caleg DPRD Banten dari Partai Golkar nomor urut 2, Dapil Pandeglang. Mereka menyebarkan paket mie instan secara bersama-sama.

Setiap paket berisi mie instan itu terdapat stiker berupa format suara suara yang terdapat foto Caleg Andika Hazrumi, Andiara Aprilia Hikmat dan stiker bergambar Fitron Nur Ikhsan.

Pelapor bernama Azis Marha ketika melaporkan praktik politik uang yang dilakukan kedua anak Atut dan juga juru bicaranya mengatakan bukti paket mie instan dan juga stiker bergambar Andika Hazrumi, Andiara Aprilia Hikmat dan Fitron Nur Ikhsan sudah disertakan dalam laporan ke Bawaslu Banten.

"Pada tanggal 31 Maret 2014 sore, kami menemukan bukti praktik politik uang dilakukan ketiga orang tersebut di Kampung Sindang Resmi, Desa Ciodeng, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang. Buktinya berupa paket plastik berisi mie instan dan kertas suara yang bergambar mereka," ujar pelapor, Azis Marha di Kantor Bawaslu, di Serang, Rabu (2/4).

Ia menuturkan, pembagian oleh ketiganya dilakukan pada waktu sore hari menjelang maghrib di kampung Sindang Resmi, Desa Ciodeng, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang.

"Pembagiannya secara bersamaan, satu paket itu ada tiga suara. Kami berharap kasus ini harus diproses agar politik uang tidak merajalela di Banten. Kasihan caleg yang tidak punya uang dan ingin membangun bangsa, tetapi dikotori oleh caleg yang membagi-bagikan barang untuk meraih simpati masyarakat," jelas Azis Marha.

Ketua Bawaslu Banten, Pramono U Thantowi, mengatakan akan mempelajari terlebih dahulu laporan dari warga ini. "Kita lakukan kajian materinya dulu. Kalau dari kajian awal itu pelanggaran administrasi, akan kita klarifikasi lebih dulu. Prosesnya masih panjang," ujarnya.

Dugaan awal Bawaslu, para caleg ini melanggar Pasal 301 dengan hukuman pidana selama 2 tahun masa kurungan dan denda Rp24 juta. "Penyelesaiannya bukan di sini (Bawaslu), tapi penyelesaiannya melalui polres dan peradilan umum. Kita hanya memverifikasi," ujar Pramono.

Sementara itu saat hendak dikonfirmasi, baik terhadap kedua penerus dinasti politik Ratu Atut Chosoyah, baik Andhika maupun Andiara tidak bisa dihubungi. Bahkan Jubir Atut, Fitron Nur Ikhsan yang juga sebagai pihak terlapor saat dikonfirmasi mengaku dirinya merasa tidak membagi-bagikan mie instan kepada warga seperti laporan tersebut.

Kendati begitu ia akan mengecek di titik wilayah ditemukannya pelanggaran itu.

"Kalau saya membagi-bagikan kartu nama dan surat suara itu benar. Itu juga dilakukan oleh seluruh caleg dan bukan sebagai pelanggaran pemilu," kata Fitron.

Rabu, 26 Maret 2014

Mantan Gubernur Banten Joko Munandar jadi tumbal

Serang – Penetapan Atut Chosiyah, Gubernur Banten sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (17/12) mengingatkan pada peristiwa serupa ketika Djoko Munandar (almarhum), Gubernur Banten periode 2002-2007 ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten pada Jumat 17 Desember 2004, 

Bedanya, Atut Chosiyah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terhadap Akil Mochtar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Pemilukada Lebak 2013 dan pengadaan alat kesehatan (Alkes) Banten. Sedangkan Djoko Munandar dijerat dengan kasus korupsi pemberian dana perumahan pada anggota DPRD Banten senilai Rp10,5 miliar dalam APBD Banten 2003.

Meski divonis 2 tahun, Pengadilan Negeri (PN) Serang mencantumkan klausal,
Djoko Munandar terbukti tidak menerima sepeserpun uang dana perumahan. Klausal ini yang menjadi dasar MA menyatakan Djoko tak bersalah dan dibebaskan dari segala hukuman. Putusan MA No 2097K/PID/MA dikeluarkan 8 Mei 2008. Sayangnya, putusan ini tidak pernah dibaca Djoko Munandar karena telah meninggal pada 5 Desember 2008, tepatnya pukul 19.00 WIB karena sakit.

Sebenarnya, penanganan kasus dana perumahan oleh Kejati Banten saat itu menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat. Pasalnya, saat itu terdapat dua kasus korupsi yang disoroti publik, yaitu dana perumahan Rp10,4 miliar dan kasus pengadaan lahan Karangsari Rp5,5 miliar di Pandeglang. Tetapi Kejati Banten yang saat itu dipimpin Kemas Yahya Rahman memilih menangani kasus dana perumahan, dibandingkan kasus lahan Karangsari.

Uday Suhada, Direktur Eksekutif Aliansi Independen Peduli Publik (Alipp) kepada mediabanten.com, Kamis (19/12) mengatakan, dibandingkan kasus dana perumaha, kasus Karangsari memiliki bukti yang lebih kuat, antara lain bukti transfer dari Pemprov Banten ke Chasan Sochib, ayah Atut Chosiyah. Atut saat itu menjabat Wakil Gubernur Banten. Notulen rapat tanah Karangsari dipimpin oleh Atut Chosiyah.

“Tanah Karangsari itu dibeli Chasan Sochib, di tengah sengketa dengan Pemkab Pandeglang dengan warga yang mengaku milik tanah itu. Tiba-tiba ada kesepakatan antara Chasan Sochib dengan Pemkab Pandeglang bahwa tanah itu akan dibayar oleh Pemprov Banten, tanpa satu pun pejabat Pemprov yang ikut dalam kesepakatan itu. Dalam APBD juga terjadi keanehan, tercantum pengadaan lahan Karangsari Rp5,5 miliar, tetapi diselipkan pembebasan tanah untuk Jalan Serang-Pandeglang. Kami sudah melaporkan hal ini ke KP ketika dipimpin oleh Taufik Ruki,” katanya.

Akhirnya, Kejati Banten menerbitkan Surat Penghentian Penyelidikan Perkara (SP3) atas kasus pengadaan lahan Karangsari. Sedangan kasus dana perumahan berlanjut, menyebabkan Djoko Munandar diberhentikan dari jabatan sebagai Gubernur Banten. Sementara itu, Kemas Yahya Rahman naik menjadi Jampidsus Kejagung, kemudian dicopot jabatannya karena diduga terlibat kasus penyuapan terhadap jaksa Urip Tri Gunawan oleh Artalyta Suryani.

Mengembangkan Dinasti

Setelah Djoko Munandar diberhentikan, Atut Chosiyah pun dilantik menjadi Plt Gubernur Banten. Dan, sejak saat itu oligarki politik keluarga atau dikenal istilah dinasti dikembangkan Atut Chosiyah dengan dimotori Chaeri Wardhana, adik Atut yang menjadi pengusaha. Pengaruh Chasan Sochib sebagai tokoh jawara, sesepuh Banten dan sesepuh Golkar di Banten semakin menyuburkan dinasti politik keluarga tersebut.

Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Banten tahun 2006 adalah ujian pertama dinasti politik itu. Atut menggandeng Mohammad Masduki, seorang pensiunan birokrat. Pasangan ini didukung Partai Golkar, PDIP, PBR, PBB, Partai Patriot dan PKPB. Pasangan ini memperoleh 40 % atau 1,44 juta suara dari 3,5 juta suara. Atut-Masduki beroperiode tugas 2007-2012.

Dinas keluarga ini semakin kukuh dalam Pemilukada tahun 2011. Kali ini Atut berpsangan dengan Rano Karno yang terkenal melalui film Si Doel Anak Sekolahan. Pasangan ini diusung oleh  11 partai politik yang memiliki kursi di DPRD Banten, antara lain Partai Golkar, PDI Perjuangan, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Peduli Bangsa (PKPB), dan 22 partai nonparleman.  Suara yang diperoleh sebanyak 2,13 suara atau 49,6 % dari 7,18 pemilih. Atut-Rano bertugas 2012-2017.

Keluarga Atut rupanya tak berhenti pada langkah menguasai jabatan Gubernur Banten. Keluarga ini “menggurita” menguasai jabatan publik di tingkat kabupaten dan kota, jabatan organisasi usaha dan organisasi kemasyarakatan. Tatu Chasanah, adik kandung Atut kini menjabat Wakil Bupati Serang setelah sebelumnya menjadi Wakil Ketua DPRD Banten, Ketua DPD Golkar Pandeglang dan masih Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Banten.

Airin Rachmy Diyani, adik ipar Atut atau istri Chaeri Wardhana menjadi Walikota Tangerang Selatan setelah gagal menjadi Wakil Bupati Tangerang. Sedangan Haerul Jaman, adik tiri Atut menjadi Walikota Serang yang sebelumnya Wakil Walikota Serang. Dan, Heriyani atau Iye, ibu tiri Atut menjabat Wakil Bupati Pandeglang. Dan, Ratna Komalasari, ibu tiri Atut yang lainnya menjadi anggota DPRD Kota Serang, kemudian mengundurkan diri. Semua itu dibawah naungan Partai Golkar.

Atut Chosiyah pun ditengarai menyiapkan anaknya sebagai “pewaris” kekuasaan. Misalnya, Andika Haruzamy, menjadi anggota DPD RI dan kini mencalonan diri sebagai anggota DPR RI dari Partai Golkar. Andika juga menjabat Taruna Siaga Bencana (Tagana) dan Karang Taruna Banten. Istri Andika, Ade Rosi Khaerunisa, menjadi Wakil Ketua DPRD Kota Serang, Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (TP2P2A) Banten, Ketua Himpunan Pendidikan Anak Usia Dini (Himpaudi) Banten dan Ketua Badan Koordinasi Organisasi Wanita (BKOW) Banten. Sedangkan Andiara Aprila Tomet, adiknya Andika mencalonan jadi anggota DPD RI, seakan menggantikan Andika. Dan, Tono Warsono, suami Andiara mulai tampil dengan menjabat Ketua KNPI Banten.

Di lingkungan birokrat, jalinan darah atau keluarga pun dibangun. Muhadi, Sekretaris Daerah (Sekda) Banten adalah paman Airin atau paman iparnya Atut Chosiyah. Deretan keluarga ini semakin panjang jika ditelisik ke pejabat eselon II, III dan eselon IV.

Kerajaan Bisnis

Dinasti keluarga ini tak hanya membangun dinasti politik, juga membangun “kerajaan bisnis” yang mengkhususkan pada proyek-proyek pemerintah. Kerajaan ini “dipimpin” Chaeri Wardhana atau Wawan yang ditangkap KPK dalam kasus penyuapan Akil Mochtar. Resminya, Wawan menjabat Ketua Umum Kadin Banten, sejumlah organisasi usaha lain dan organisasi kemasyarakatan.

Uday Suhada, Direktur Eksekutif Alipp mengemukakan, pengerjaan proyek ini tidak hanya dilakukan oleh perusahaan yang dimiliki oleh Keluarga Atut, tetapi oleh jaringanya. Pengerjaan proyek itu ditengarai sangat masif dan mengusai seluruh proyek pemerintahan baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Periode 2011-2013 tercatat 175 proyek dikerjakan perusahaan keluarga Atut dan jaringannya dengan total nilai Rp1,48 triliun. Proyek itu berupa infrastruktur, kesehatan dan pendidikan.

Suhada mencatat 10 perusahaan dimiliki keluarga. “Ada 19 proyek dari Pemprov Banten dikerjakan perusahaan keluarga itu dengan nilai Rp478,72 miliar,” katanya. Perusahaan keluarga itu antara lain PT Sinar Ciomas Wahana Putra, PT Ginidng Mas Wahana Nusa, PT Unifikasi Profesional Media Consultant, PT Profesional Indonesia Lentera Raga, PT Andika Pradana Utama, PT Pelayaran Sinar Ciomas Pratama, PT Ratu Hotel, PT Putra Perdana Jaya, PT Bali Pacific Pragama dan PT Buana Wardana Utama. Sedangkan 24 perusahaan lainnya terindikasi sebagai jaringan atau mitra perusahaan keluarga.

Selain kerajaan bisnis, Suhada menduga, keluarga Atut memanfaatkan bantuan hibah, bantuan sosial (bansos) dan dana kemasyarakatan lainnya untuk membiayai “mesin politik”. Dana hibah itu nilainya melonjak-lonjak secara fantastis. Tahun 2009, dana hibah hanya Rp74 miliar, tahun 2010 sebesar Rp290,1 miliar, tahun 2011 Rp391,1 miliar dan tahun 2013 menjadi Rp1,3 triliun. Sebagian besar dana hibah  diberikan kepada organisasi yang dipimpin oleh keluarga Atut Chosiyah. Sebagian lagi diberikan kepada jaringannya. “Hasil investigasi kami, sebagian besar penerima hibah itu fiktif. Jika tida fiktif, dana hibah dan bansos yang diterimanya tidak utuh alias disunat sangat banyak,” katanya.

Terlepas dari semua itu, menarik dikemukakan pernyataan Atut Chosiyah ketika dilantik menjadi Plt Gubernur Banten tahun pada awal tahun 2006. Atut menegaskan, tidak akan memberikan ampun kepada pelaku tindak korupsi. Dia sendiri yang akan menyerahkan pelaku ke para penegak hukum.

Ironis memang. Kini Atut sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Apakah ini karma atau kutukan? Karena dua kali Gubernur Banten tersandung korupsi.(imn)

kasus mark up yang terkatung katung

Kasus Mark up

Pembebasan Lahan Gedung Mapolda Banten

Sejak Propinsi Banten berdiri pada tanggal 04 Oktober 2000 pembangunan suprastruktur dan infrastruktur fisik berlangsung pesat diantaranya Gedung Mapolda, DPRD Banten jalan raya dsb. Ternyata sejak saat itu pula banyak terjadi banyak dugaan kasus korupsi salah satunya pembebasan lahan gedung Mapolda ternyata bermasalah.

Pembebasan lahan didesa Banjarsari Kec. Cipocok Jaya diperuntukan bagi peningkatan status peran Kepolisian Wilayah menjadi  Kepolisian Daerah Banten (Polda Banten) dengan luas sebesar 10,948 ha. Dengan ganti rugi sebesar Rp.25.344.620.000,00 atau sebesar Rp.231.500,00 per meter2.

Status kepemilikan lahan tersebut  yaitu sebagai berikut :

    Tanah seluas 61.358 m2 tersebut dikuasai H.CSH.
    Tanah seluas 33.287 m2 dikuasai Herlin Wijaya
    Eks Tanah Bengkok milik Pemda Kab. Serang   seluas 14835 m2

Sumber pendanaan tanah sebagai berikut :

    APBD 2003
    Pos Setda
    Pos Dana Tak Tersangka. (?)

Pembayaran ganti rugi kepada Prof. Dr. H.Chasan Sochib dan Herlin Wijaya sebesar 21.910.317.500,00 ditandatangani untuk diterima pada bulan Mei 2003 dan diterima terakhir bulan Desember 2003 atas rekening Dana Tak Tersangka sebesar Rp.13.778.372.100,00.

Sedangkan pembayaran ke Pemda Kab. Serang sebesar Rp. 3.343.302.500,00 dengan menggunakan Surat Tanda Setoran/ Model Bend 1.dalam dua tahap melalui rekening dua tahap melalui rekening individual yaitu pemindah bukuan sebesar Rp. 3.262.587.372,00 pada tanggal 24 Juni 2003 dan setoran tunai sebesar Rp. 171.715.125,00. pada tanggal 12 Januari 2004.

Menurut Camat Cipocok  ternyata harga ganti rugi tanah tersebut lebih mahal sebesar Rp. 31.500.,00 dengan harga pasaran berdasarkan rekomendasi Bupati Serang berkisar antara Rp. 150.000, 00 – 250.000,.00.per m2 dan sesuai dengan harga pasar tertinggi yaitu Rp. 200.000,00 per m2.Dengan adanya laporan tersebut BPK menuduh kelebihan harga tertinggi yang ditetapkan (Rp. 200.000,00-231.000,.00) Pembebasan lahan ini mengindikasikan kerugian daerah sebesar 3.448.620,00  (31.500 x 109.800m2).

Masalah ini diduga hasil intervensi pihak penjual PT. BBJ yang notebene milik H. Chasan Sochib kepada Gubernur Banten yang tidak menginginkan alternative lokasi lain dengan alasan Gedung Mapolda Banten sudah ditenderkan di Polda Jabar. Pemprov Banten juga membela diri bahwa penetapan harga Rp231.500,00 masih dalam aturan  yang benar sesuai dengan pasaran tertinggi berdasarkan rekomendasi Panitia 9 dari Kabupaten Serang dan dalam kondisi siap bangun tanpa ada bangunan dan unsur tegakan yang lain.

Argumentasi itu ditambahkan berdasarkan bahwa :

    Hasil inventarisasi dan pengukuran tanah pada tanggal 14 April 2003 jo. bidang tanah No.01/2003 Peta Bidang Tanah tanggal 05 Januari 2003 yang dimuat dalam risalah rapat pada tanggal 17 Januari 2003 menyebutkan pada bidang tanah tersebut tidak ada bangunan,tanaman tumbuh dan unsur tegakan lain.
    Permintaan harga ganti rugi dari pemilik tanah per m2 yang semula Rp. 250.000,-dan kemudian berubah menjadi 220.000,-sudah termasuk dalam kondisi lahan siap bangun.

Menurut BPK modus operandi kasus ini tetap menyiratkan adanya dugaan kolusi yang merugikan keuangan daerah sebesar Rp. 3.448.620,00  (31.500 x 109.800m2) untuk diproses secara hukum.

BPK hanya menuduh adanya markup harga jual tanah, sementara itu opini public yang digulirkan oleh berbagai elemen masyarakat termasuk LSM tentang adanya penyimpangan anggaran  seperti penggunaan Pos Dana Tak Tersangka sebesar Rp. Rp.13.778.372.100,00 milyard oleh Gubernur yang seharusnya diperuntukan bagi kondisi darurat seperti bencana alam, kiranya juga diusut dan dikenakan delik hukum pidana. Penggunaan Dana Tidak Tersangka (DTT) itu tidak memenuhi ketentuan dalam PP 105 dan Kepmendagri No.29/2002. Kebijakan menggunakan Dana Tak Tersangka, jelas-jelas kewenangan mutlak gubernur. Tafsiran “keadaan mendesak” dalam PP 105 tahun 2000 telah disalah tafsirkan digunakan untuk pembebasan lahan Mapolda Banten dan menyalahi intruksi Mendagri. Kasus berikutnya serupa terjadi juga dalam kasus Dana Perumahan bagi anggota DPRD Banten selain peraturan diatas juga diancam terkena delik pidana berdasarkan UU Anti Korupsi No.20 Tahun 2001 junto pasal 55 KUHP.

Dugaan kolusi kemungkinan besar disebabkan intervensi pemaksaan, balas budi dan unsur lain oleh H. Chasan Sochib (masa itu bagi kalangan aktivis dan akademisi disebut dengan anekdot Hitlernya Banten atau Sang Gubernur Jendral. red) terhadap Gubernur Djoko Munandar dan Panitia 9 (sembilan). Pertemuan terakhir di Jakarta untuk pembayaran ganti rugi terhadap H.Chasan Sochib, Helin Wijaya diduga  adanya konspirasi kesepakatan damai masalah tersebut.  (Tim)

Sumber Pustaka :

    BPK RI 2005
    Kejadian langsung dan saksi sejarah

Selasa, 11 Maret 2014

MANAQIB TB CHASAN SHOHIB

KELUARGA ATUT BILANG BAHWA DIA SUDAH KAYA SEBELUM JADI GUBERNUR, WARISAN AYAHNYA, YANG MENJADI PERTANYAAN APAKAH AYAHNYA MENDAPATKAN HARTA ITU SECARA LEGAL ?, SEORANG TOKOH BANTEN MENGATAKAN BAHWA AYAHNYA ATUT MASIH MENINGGALKAN HUTANG KEPADANYA, BELUM LAGI KASUS KEKERASAN, DAN PREMANISME YANG DILAKUKAN, NEGARA HARUS AMBIL LAGI HARTA YANG SUDAH DIJARAH
akarta - Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah menjadi sorotan ketika KPK menangkap adiknya, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan dalam upaya suap Ketua MK, Akil Mochtar. Gebrakan KPK, termasuk mencegah Ratu Atut ke luar negeri, disambut banyak pihak sebagai awal runtuhnya "dinasti Banten".

Dinasti Banten keluarga Atut berawal dari sang ayah, Tubagus Chasan Sochib. Sang jawara Banten ini pernah berujar "Sayalah gubernur jenderal." Kalimat itu dilontarkan sang Jawara setelah Chasan mengantarkan pasangan Djoko Munandar-Ratu Atut sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Banten tahun 2001.

Nama Chasan berkibar melalui perusahaan CV Sinar Ciomas yang didirikan pada1970-an. Perusahaan kontraktor itu cikal bakal PT Sinar Ciomas Raya yang sahamnya dimiliki keluarga besar Chasan.

Proyek-proyek besar di Banten sudah pernah digarap PT Sinar Ciomas seperti pembangunan gedung dewan tahun 2006. Pelabuhan dermaga di Cigading pun digarap PT Sinar Ciomas. Pembangunan gedung DPRD Banten senilai Rp 62 miliar juga tidak lepas dari PT Sinar Ciomas.

Chasan Sochib meninggal 30 Juni 2011. Namun, pamor keluarga ini belum luntur karena keluarga besarnya menduduki banyak posisi penting di pemerintahan maupun bisnis.

Chasan memiliki banyak istri. Jumlah istri dan anak Chasan Sochib bukan "angka pasti". Istri pertamanya, Wasiah, ketika diwawancarai Tempo, tak bisa menyebutkan siapa saja istri Chasan. "Ada di mana-mana," katanya. Seseorang yang dekat dengan penerima gelar doktor honoris causa dan profesor dari Northern California University dan Global University International ini bercerita, "Chasan juga tak tahu jumlah dan nama semua anaknya."

Jumlah istri Chasan sebenarnya bisa terlihat dari data tentang ahli warisnya. Surat Mahkamah Agung yang diterima Tempo menunjukkan Chasan memiliki 25 ahli waris dari 6 istri.

** ISTRI PERTAMA, Wasiah Samsudin, menikah 2 November 1960 di Serang. Namun bercerai tahun 1991 :

MEMPUNYAI ANAK :

1. Ratu Atut Chosiyah :

JABATAN : Awalnya Atut menjabat sebagai wakil gubernur pada 2001. Kariernya naik menjadi Plt. Gubernur Banten pada Oktober 2005. Puncaknya, ia berhasil menduduki jabatan Gubernur Provinsi Banten periode 2007-2012 dan 2012-2017.

Suami : Hikmat Tomet yang menjabat anggota Komisi V Fraksi Golkar 2009-2014

Anak pasangan Atut dan Hikmat :

1. Andika Hazrumy menjabat sebagai anggota DPD Banten 2009-2014, Kordinator TAGANA (Taruna Siaga Bencana) Banten, Direktur Utama PT. Andika Pradana Utama, Direktur Utama PT Pelayaran Sinar Ciomas Pratama, Direktur Utama PT Ratu Hotel.

Istri : Ade Rossi Khoerunisa menjabat sebagai anggota DPRD Kota Serang 2009-2014.

2.Ratu Tatu Chasanah: Wakil Bupati Kabupaten Serang 2010-2015

3. Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan: Pengusaha dan Ketua AMPG Banten

Istri : Airin Rachmi Diany menjabat sebagai Walikota Tangerang Selatan 2011-2016.

Istri kedua...

** ISTRI KEDUA, Ratu Rapiah Suhaemi. Ia dinikahi Chasan Sochib pada 2 Mei 1969 di Serang. :

Dari Rapiah Suhaemi, Chasan mendapat lima anak :

1. Tubagus Haerul Jaman

Menjabat sebagai Wakil Walikota Serang 2008-2013 dan Walikota Serang 2013-2018.

2. Ratu Lilis Karyawati

Menjabat sebagai Ketua DPD II Golkar Kota Serang 2009-2014.

Suami : Aden Abdul Khaliq yang menjabat sebagai anggota DPRD Banten 2009-2014.

3. Iloh Rohayati

4. Tubagus Hendru Zaman

5. Ratu Ria Mariana

** ISTRI KETIGA, Chaeriyah. Tubagus Chasan Sochib menikahinya pada 21 Mei 1968. Namun mereka bercerai pada 2002. Dengan istri ketiga, Chasan dikaruniani lima anak :

1. Ratu Heni Chendrayani

Menjabat : Pengurus Kadin periode 2012-2017. Ia menduduki posisi Ketua Komite Tetap Asuransi Kendaraan.

2. Ratu Wawat Cherawati

Menjabat : Pengurus Kadin periode 2012-2017. Ia menduduki posisi Komite Tetap Pengolahan & Pemanfaatan Limbah Industri Pertambangan.

3. Tubagus Hafid Habibullah

4. Tubagus Ari Chaerudin, aktif di Gapensi kota Serang

5. Ratu Hera Herawati

Istri keempat...

** ISTRI KEEMPAT, Imas Masnawiyah dinikahi Chasan Sochib pada 06 Juni 1969 di Pandeglang dan sudah meninggal pada 17 Februari 1986.

Dengan istri keempat, Chasan mempunyai tiga anak :

1.Ratu Ipah Chudaefah

Guru di Kota Serang.

2. Ratu Yayat Nurhayati

3. Tubagus Aan Andriawan

**ISTRI KELIMA, Heryani Yuhana yang dinikahi Chasan 30 Mei 1988 di Pandeglang.

Istri kelima ini menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Pandeglang periode 2009-2014. Chasan dari Heryani mendapat lima anak :

1. Tubagus Erhan Hazrumi

Menjabat : Direktur PT Trio Punditama.

2. Ratu Irianti

3. Tubagus Bambang Saepullah

4. Tubagus Febi Feriana Fahmi

** ISTRI KEENAM, Ratna Komalasari dinikahi Chasan pada 8 April 1991. Ia menjabat sebaga anggota DPRD Kota Serang periode 2009-2014. Empat anak didapat Chasan dari Ratna Komalasari :

1.Tubagus Bambang Chaeruman

Menjabat : Bekerja sebagai kontraktor.

2. Ratu Aeliya Nurchayati

3. Tubagus Taufik Hidayat